Artikel Populer

Selasa, 19 Mei 2009

“GURU TRANSFORMATIF: FAKTA ATAU MITOS?” SEBUAH KAJIAN SINGKAT MENGENAI KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DI SEKOLAH

Kepemimpinan transformasional merupakan salah satu model kepemimpinan yang ideal meningkatkan kinerja anggota dalam sebuah organisasi. Guru merupakan salah satu posisi kepemimpinan di sekolah yang harus mengadopsi model kepemimpinan transformasional ini untuk memaksimalkan keberhasilan para siswa untuk mencapai tujuan akademisnya. Tulisan ini berusaha meninjau secara singkat penerapan model kepemimpinan transformasional dalam tataran sekolah, dan menerapkan 7 prinsip kepemimpinan transformasional di sekolah.

"Nearly all men can stand adversity,

but if you want to test a man's character, give him power.

Abraham Lincoln

PENDAHULUAN

Abad 21 ini adalah abad yang “organik”[1] bagi sebuah organisasi. Youngblood mengatakan bahwa dalam era “quantum”* sebuah organisasi harus dilihat dan berperilaku sebagai sebuah organisme yang hidup dalam sebuah lingkungan ekologi. Sebagai organisme, maka sebuah organisasi tidak diam, melainkan secara dinamis terus-menerus mengalami proses adaptasi terhadap lingkungannya untuk dapat bersinergi dengan maksimal.

Sebagai sebuah organisme yang dinamis, maka sebuah organisasi harus taat dan fleksibel terhadap adanya perubahan, namun harus berhati-hati juga dalam membatasi perubahan. Perubahan harus dianggap sebagai sebuah proses untuk tidak jatuh dalam dua kutub kematian organisasi yang berbahaya. Satu kutub, disebut sebagai equilibrium, dimana kontrol terhadap organisasi sangat ketat sehingga organisasi tersebut menjadi tidak dinamis dan fleksibel. Kondisi ini menjadikan sebuah organisasi menjadi statis dan tertutup terhadap inovasi dan kreatifitas. Sedangkan kutub kematian yang lain adalah chaos, dimana organisasi terlalu permisive terhadap perubahan, sehingga akhirnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur organisasi tersebut tidak mampu lagi ditopang oleh sistem yang ada.

Pada era terdahulu yang bersifat industrialis, arsitektur command-and-control yang sangat mekanistis sangat kental dalam sebuah organisasi. Hal ini tergambar jelas melalui lukisan struktur hirarki dan garis otoritas yang sangat tebal dalam struktur organisasi. Dulu hal ini diyakini sebagai cara yang paling efektif untuk menjaga keutuhan sebuah organisasi. Akibatnya, “nasib” dari organisasi tersebut hanya ditentukan oleh beberapa orang kunci yang disebut pemimpin. Cara ini menggariskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki strategi yang hebat untuk menang, mengembangkan rencana pengembangan yang sangat terperinci, memerintah langsung para bawahannya, dan nampaknya harus menjadi seorang “tokoh super” yang paling pandai dari setiap orang yang dipimpinnya.

Dalam konsep organisasi quantum, konsep kepemimpinan bergeser sangat jauh. Dengan pemahaman baru bahwa sebuah organisasi harus mampu berorganisasi secara mandiri, maka peran dari seorang pemimpin sekarang bukan lagi melakukan kepemimpinan dengan otoriter, melainkan beralih peran menjadi seorang yang mendorong agar proses self organization itu terjadi dengan baik dan dinamis. Peran baru seorang pemimpin lebih kepada seorang penjaga visi, sehingga organisasi yang dipimpinnya tidak terjerembab kedalam salah satu kutub kematian organisasi, seperti telah disebutkan sebelumnya.

Perubahan pemahaman ini akhirnya juga berimbas pada perubahan makna kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan yang semula menyatakan hubungan pemimpin dan bawahan, sekarang berubah menjadi konsep pemimpin dan pengikut. Pemimpin yang semula berorientasi pada keahlian manajerial, sekarang mengubah orientasinya pada keahlian kepemimpinan. Walaupun memiliki nuansa yang seirama, namun sebenarnya terdapat perbedaan diantara kedua konsep ini. Kepemimpinan berorientasi pada proses, sedangkan manajerial berorientasi pada hasil. Walaupun demikian, dalam sebuah organisasi, kepemimpinan dan manajerial tetap diperlukan duduk berdampingan untuk mendorong organisasi untuk terus maju untuk menghadapi perubahan disekitarnya, serta mencapai visi yang telah dirumuskannya.


Sekolah sebagai organisasi organik

Sekarang masalahnya adalah, pola kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan oleh sebuah sekolah, dipandang sebagai sebuah bentuk organisasi organik. Sekolah jika dipandang sebagai organisasi akan memiliki berbagai atribut yang sama seperti halnya organisasi lainnya, seperti perusahaan dan organisasi jasa. Dalam bahasa aslinya, kata organisasi berasal dari bahasa Yunani yaitu organon, yang berarti alat. Sebuah kamus online mengartikannya demikian: “Sebuah unit sosial yang terdiri dari sekumpulan orang yang secara sistematis disusun dan dikelola untuk mencapai tujuan kolektif dalam jangka panjang[2]. Dari definisi ini, ditegaskan beberapa hal penting mengenai sebuah organisasi, yaitu:

1. Tiap organisasi memiliki anggota

2. Tiap organisasi memiliki proses usaha bersama

3. Tiap organisasi memiliki tujuan bersama

Dari ke tiga komponen tersebut, maka sekolah dapat dipandang sebagai sebuah organisasi, karena memiliki anggota yaitu para guru dan staf, yang berusaha bersama untuk mengelola proses pembelajaran siswanya, serta memiliki tujuan bersama yaitu meluluskan siswanya dengan nilai terbaik yang bisa dihasilkan siswanya.

Sebagai organisasi yang hidup dalam jaman quantum, maka sekolahpun harus berusaha untuk mengubah dirinya menjadi organisasi organik, yaitu organisasi yang mampu beradaptasi dengan fleksibel terhadap perubahan ekologis disekelilingnya. Berarti, sekolah juga harus beranjak dari paradigmanya yang lama sebagai organisasi mekanistis yang berorientasi terhadap kepemimpinan hirarki, kepada sistim organisasi yang baru. Sistim organisasi yang baru itu hendaknya merupakan sistim organisasi yang terbuka kepada perubahan, mendorong kreatifitas, dan berorientasi kepada kepemimpinan yang berperan sebagai fasilitator organisasi untuk mengalami proses kembang mandiri secara alamiah.

Untuk itu, maka diperlukannya para pemimpin di sekolah, dimulai dari para pengambil keputusan, seperti Head of school, principal(Kepala sekolah), dan para koordinator level atau subjek, sampai para guru yang berperan sebagai ujung tombak pekerja sekaligus pemimpin (Peter F. Drucker menyebutnya dengan knowledge worker[3]), untuk memahami sekolah dengan cara pandang quantum dan melakukan peran masing-masing sebagai pemimpin, dengan menerapkan pola kepemimpinan yang tepat. Pola kepemimpinan yang tepat ini sangat penting untuk menentukan outcome dari organisasi tersebut. Dalam konteks tulisan ini, yang dimaksud outcome adalah hasil prestasi yang dicapai oleh para siswa dalam belajar. Prestasi tersebut meliputi ketrampilan, maupun kompetensi akademik maupun non akademik yang seharusnya dimiliki oleh para siswa secara utuh sebagai hasil proses pembelajaran. Prestasi hasil belajar inilah yang secara signifikan dapat menentukan tingkat keberhasilan sebuah sekolah sebagai organisasi dalam mencapai tujuan kolektifnya dalam jangka waktu yang panjang.

Tulisan ini bertujuan melakukan kajian singkat yang bersifat teoritis dan deskriptif, terhadap praktek kepemimpinan transformasional guru terhadap anak didiknya, berbagai dimensi, prinsip, kendala, dan berbagai penyimpangan yang terjadi serta memberikan beberapa fakta yang merupakan hasil tinjauan dari beberapa penelitian mengenai pengaruh kepemimpinan transformasional pengajar terhadap hasil yang dicapai oleh anak didik. Tentunya kesimpulan dalam tulisan ini juga sangat bergantung kepada situasi dan kondisi serta sumberdaya yang dimiliki oleh sekolah.


Kepemimpinan transformational di tengah gaya kepemimpinan lainnya

Kepemimpinan selalu meninggalkan banyak sekali definisi untuk diartikan. Dari begitu banyaknya pengertian akan kepemimpinan, saya mencoba mengutip beberapa sumber. Northouse menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah: “sebuah proses dimana seseorang dapat mempengaruhi sebuah kelompok individual untuk mencapai sebuah tujuan”.[4] Hal ini merupakan definisi standard dari kepemimpinan organisasi. Beberapa konsep yang muncul disana adalah: proses, individu, kelompok, dan tujuan. Hal ini memang merupakan bagian-bagian pembentuk kepemimpinan yang sadar atau tidak sadar dibutuhkan dalam membentuk sebuah kepemimpinan. Banyak proses kepemimpinan yang justru hadir dalam kondisi yang tidak disadari. Seorang pemimpin akan tampil dengan sendirinya dalam sebuah situasi dan konflik kelompok.

Kouzes dan Posner, memahami kepemimpinan sebagai sebuah kualitas hubungan antara konstituen dan pemimpinnya. Karena itu mereka menyimpulkan kepemimpinan sebagai sebuah seni untuk memobilisasi orang lain untuk mau bergumul untuk berbagi aspirasi.[5] Menurut mereka, jika kata mau (to want) dihapus dari definisi tersebut, maka definisi tersebut akan memiliki arti yang sangat signifikan berbeda dari sebelumnya. Motivasi, pilihan, dan keinginan yang dari dalam menurut mereka adalah hal yang sangat penting bagi anggota organisasi untuk melakukan apa yang digariskan oleh seorang pemimpin untuk mencapai tujuannya.

Dua definisi diatas sebenarnya memberikan gambaran bahwa sesungguhnya dalam memimpin, gaya kepemimpinan sangat menentukan fungsi kepemimpinan seseorang dalam kelompoknya. Beberapa gaya kepemimpinan, adalah:

  1. Otoriter/Diktator, kepemimpinan yang mempertahankan kekuasaan dan kewenangan dalam pembuatan keputusan.
  2. Demokrasi relatif, kepemimpinan yang lebih lunak, dan berusaha memastikan bahwa kelompoknya mendapatkan informasi memadai dan berpartisipasi dalam proses pencapaian tujuan.
  3. Kemitraan, kepemimpinan yang mengaburkan batas-batas antara pemimpin dan anggotanya.
  4. Transformational, kepemimpinan yang mampu mendatangkan perubahan dalam diri setiap individu yang ada dalam sebuah organisasi untuk terlibat dalam pencapaian kinerja yang sangat tinggi.


Mengapa kepemimpinan transformational?

Burns, tahun 1978 sudah berusaha merumuskan sebuah definisi kepemimpinan transformasional sebagai: “Suatu proses dimana pemimpin dan pengikutnya bersama-sama saling meningkatkan dan mengembangkan moralitas dan motivasinya.[6] Sedangkan Bass, dalam definisinya tentang kepemimpinan transformasional, lebih melihat pada pengaruh yang dihasilkan seorang pemimpin, sehingga menghasilkan rasa percaya, kagum dan segan.

Selain itu, Bass juga menjelaskan 4 hal yang perlu dilakukan agar kepemimpinan transformasional dapat terlaksana:

  • Mengidealisasikan pengaruh dengan standar etika dan moral yang cukup tinggi dengan tetap mengembangkan dan memelihara rasa percaya diantara pemimpin dan anggotanya
  • Inspirasi yang menumbuhkan motivasi
  • Stimulasi intelektual dengan tujuan untuk menumbuhkan kreativitas
  • Kesadaran bahwa setiap anggota memiliki keberadaan dan karakteristik yang unik, sehingga membutuhkan penghargaan, aktualisasi diri, dan pemenuhan berbagai keinginan pribadi.[7]

Jika kita kembali menilik paparan diatas mengenai abad quantum dan organisasi organik, maka pada abad ini justru dibutuhkan para pemimpin dan pelaku organisatoris yang kreatif, bersahabat dengan perubahan, open-minded, dan memiliki pandangan profetik terhadap masa depan yang memotivasi anggotanya untuk bertindak dengan sinergik dan energik.

Dalam kondisi yang demikianlah, kepemimpinan transformational dibutuhkan. Diperlukan adanya pemimpin transformasional yang sanggup berbagi visi sebagai inspirasi yang akan mendorong semangat dan harapan individu bersama-sama untuk mencapai sebuah tujuan yang besar dan berharga bagi organisasi. Nanus mengatakan bahwa visi yang benar setidaknya berdampak untuk:

  • Menghasilkan komitmen dan memberi energi pada para anggota
  • Menciptakan arti pada sebuah pekerjaan
  • Membangun sebuah standard kesempurnaan (standard of excellence)
  • Membangun sebuah jembatan antara masa kini dan masa depan.[8]

Seorang pemimpin transformasional, sangat mengerti akan kebutuhan, kekurangan, kelebihan, dan potensi anggotanya. Hal ini membuatnya dapat melakukan pendekatan yang berbeda terhadap para anggotanya sesuai dengan kondisi mereka. Pemimpin tranformasional senantiasa menghasilkan energi positif yang dapat mendorong anggotanya untuk percaya pada kemampuan mereka masing-masing, dan menghapus citra diri yang “kurang” pada setiap individu. Setiap individu akan merasa didukung, sehingga mereka menjadi lebih percaya diri. Hal positif inilah yang akan menjadikan sebuah organisasi menjadi kuat, karena timbulnya integritas personal dan kelompok dan saling percaya.

Seorang pemimpin transformasional memiliki totalitas dalam membantu, mendukung, anggotanya dalam menyelesaikan masalahnya, dan mencapai tujuan bersama. Pemimpin transformasional sangat arif dalam memperkuat motivasi anggotanya, dengan cara memberikan penghargaan atas keberhasilan yang dicapai dan sedikit demi sedikit mengajarkan anggotanya untuk membuang citra diri negatif mereka dan menggantikannya dengan keyakinan dan pemikiran positif untuk meraih sebuah keberhasilan.

Hal ini tentunya sangat cocok dengan kebutuhan oraganisasi organik untuk mempekerjakan orang-orang yang fleksibel, optimis, bekerja dengan sepenuh kemampuan, dan memiliki integritas terhadap visi, individu, maupun kelompoknya.

Bagaimana dengan praktek kepemimpinan transformasional ini di sekolah? Tentunya kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan organisasi lainnya. Dalam kelas, sangat diperlukan figur seorang guru yang sanggup membagi visi keberhasilan akademis bagi para siswanya sebagai sebuah inspirasi yang akan mendorong para siswa untuk giat belajar, memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk meraih keberhasilan.

Dibutuhkan seorang guru yang secara total memberikan perhatiannya pada perkembangan setiap individu di kelasnya, dan setia memotivasi mereka untuk tetap percaya bahwa mereka mampu mencapai kualitas tertinggi dari potensi akademik yang mampu mereka raih demi keberhasilan mereka. Dibutuhkan juga guru yang sanggup memberikan semangat kepada para siswanya, bahkan ketika mereka mengalami kegagalan dalam studinya, sehingga kegagalan tersebut dapat menjadi sebuah batu pijakan bagi sang siswa untuk mengoptimalkan kemampuannya. Dapatkah sebuah kualitas yang sangat ideal demikian dimiliki oleh seorang guru? Apakah guru transformasional ini hanya merupakan mitos?


Prinsip-prinsip kepemimpinan transformasional

Erik Rees, seorang anggota pelayanan Saddleback Ministry, merumuskan sebuah paradigma baru dari kepemimpinan transformasional untuk membangun sinergi dari energi sebuah organisasi. Dia merumuskan prinsip-prinsipnya tersebut seperti berikut ini:


1. Simplifikasi, keberhasilan dari kepemimpinan diawali dengan sebuah

visi yang akan menjadi cermin dan tujuan bersama. Kemampuan serta

keterampilan dalam mengungkapkan visi secara jelas, praktis dan tentu

saja transformasional yang dapat menjawab “Kemana kita akan

melangkah?” menjadi hal pertama yang penting untuk kita

implementasikan.


2. Motivasi, kemampuan untuk mendapatkan komitmen dari setiap orang

yang terlibat terhadap visi yang sudah dijelaskan adalah hal kedua yang

perlu kita lakukan. Pada saat pemimpin transformasional dapat

menciptakan suatu sinergitas di dalam organisasi, berarti seharusnya

dia dapat pula mengoptimalkan, memotivasi dan memberi energi kepada

setiap pengikutnya. Praktisnya dapat saja berupa tugas atau pekerjaan

yang betul-betul menantang serta memberikan peluang bagi mereka

pula untuk terlibat dalam suatu proses kreatif baik dalam hal memberikan

usulan ataupun mengambil keputusan dalam pemecahan masalah,

sehingga hal ini pula akan memberikan nilai tambah bagi mereka sendiri.


3. Fasilitasi, dalam pengertian kemampuan untuk secara efektif

memfasilitasi “pembelajaran” yang terjadi di dalam organisasi secara

kelembagaan, kelompok, ataupun individual. Hal ini akan berdampak pada

semakin bertambahnya modal intektual dari setiap orang yang terlibat

di dalamnya.


4. Inovasi, yaitu kemampuan untuk secara berani dan bertanggung jawab

melakukan suatu perubahan bilamana diperlukan dan menjadi suatu

tuntutan dengan perubahan yang terjadi. Dalam suatu organisasi yang

efektif dan efisien, setiap orang yang terlibat perlu mengantisipasi

perubahan dan seharusnya pula mereka tidak takut akan perubahan

tersebut. Dalam kasus tertentu, pemimpin transformasional harus sigap

merespon perubahan tanpa mengorbankan rasa percaya dan tim kerja

yang sudah dibangun.


5. Mobilitas, yaitu pengerahan semua sumber daya yang ada untuk

melengkapi dan memperkuat setiap orang yang terlibat di dalamnya dalam

mencapai visi dan tujuan. Pemimpin transformasional akan selalu

mengupayakan pengikut yang penuh dengan tanggung jawab.


6. Siap Siaga, yaitu kemampuan untuk selalu siap belajar tentang diri mereka

sendiri dan menyambut perubahan dengan paradigma baru yang positif.


7. Tekad, yaitu tekad bulat untuk selalu sampai pada akhir, tekad bulat

untuk menyelesaikan sesuatu dengan baik dan tuntas. Untuk ini tentu

perlu pula didukung oleh pengembangan disiplin spiritualitas, emosi, dan

fisik serta komitmen.[9]


Implementasi

Dari ketujuh prinsip tersebut, kita bisa melihat relevansi praksisnya dalam kegiatan belajar disekolah sebagai berikut:


1. Simplifikasi

Dalam proses ini, seharusnya seorang guru transformasional diharapkan mampu lebih dari sekedar menuangkan GBPP(Garis Besar Program Pengajaran) mata pelajarannya menjadi sebuah visi di kelasnya. Guru transformasional harusnya dapat menjelaskan visi mengapa para siswa harus belajar dan bersekolah. Visi pendidikan sejati yaitu menjadi insan kamil dan pembelajar sepanjang hayat itulah sebenarnya yang harus dibagikan kepada para siswa. Tentunya visi tersebut harus diterjemahkan dengan singkat, jelas, sehingga dapat menjadi inspirasi bagi siswa dan tidak pernah mati. Hal ini seharusnya memberikan kejelasan bagi siswa untuk melangkah dengan mantap, karena mereka tahu apa yang akan mereka capai.

Kondisi yang sering terjadi dalam kelas adalah, guru sangat terpaku pada target. Di awal pertemuan, guru selalu berbicara mengenai target siswa yang diterjemahkannya dari tujuan instruksional umum dan khusus. Hal ini tentunya tidak terlalu salah, namun dengan penekanan hanya sebatas pada tujuan mata pelajaran, maka pemahaman siswa terhadap tujuan pendidikan yang luhur menjadi kabur. Akibatnya, siswa akan merasa dibebani dengan tugas-tugas, berusaha mencari jalan pintas, tidak menghargai proses, dan akan mengalami patah semangat, jika mengalami kegagalan.


2. Motivasi

Ada saatnya kita menabur, ada saatnya pula kita menuai. Memang tidaklah mudah untuk menabur visi bagi banyak orang. Namun, bila saatnya tiba maka seorang pemimpin transformasional akan menuai motivasi dan komitmen dari para anggotanya. Begitu juga yang terjadi pada seorang guru. Mungkin sejenak mereka akan merasa bahwa tindakan mereka berbagi visi dengan para siswanya merupakan hal yang sia-sia dan menghabiskan waktu sesi pelajaran mereka. Banyak guru yang sangat “pelit” menggunakan waktu berharga didalam kelas untuk berbagi visi, menanyakan masalah, membuka wawasan masa depan siswa. Mereka menganggap target menyelesaikan mata pelajaran dan melihat daftar nilai yang bagus di rapot anak didiknya merupakan sebuah esensi tertinggi dari perannya sebagai seorang guru. Padahal ketika kita memberikan gambaran masa depan, maka kita akan menuai komitmen dan motivasi siswa dapat dengan mudah meningkat. Disinilah justru kebijaksanaan seorang guru terbukti, yaitu dengan mengajarkan nilai-nilai yang bersifat kekal.

Ada saatnya kita dapat menantang motivasi para siswa dengan memberikan berbagai tugas dan ujian yang menantang, sehingga disini kita dapat memurnikan motivasi, dan memberikan peluang kepada para siswa untuk lebih kreatif lagi dalam mengejar keberhasilan mereka.


3. Fasilitasi

Seorang guru harus dapat memberikan pengajaran yang berkualitas bagi siswa dikelasnya. Disini peran guru sebagai coach harus nampak. Dia tidak hanya mengajar, namun dapat melatih semua siswa dikelasnya untuk menjadi bisa, kompeten dan mahir dalam menguasai pelajarannya. Tentunya, ketika menjadi seorang pelatih, maka seorang guru yang transformasional akan juga menyediakan waktunya, bantuan, dukungan, bagi siswanya. Berikan para siswa tugas yang berat, namun berikan juga bantuan dan dukungan terbaik yang dapat kita berikan. Hal ini akan membuat siswa-siswa menjadi lebih kuat dan percaya diri dalam menggapai visi bersama.

Tidak bisa diabaikan, bahwa peran guru sebagai pelatih sangat kurang. Hal ini mungkin bisa dimengerti, karena terjadi di kelas-kelas yang terlalu padat sehingga guru mengalami kesulitan untuk memberikan dukungan kepada siswa-siswa satu persatu secara personal. Totalitas perhatian secara individual akan sulit untuk diharapkan, karena kelas terlalu besar, dan guru terlalu sibuk. Bahkan ironisnya, untuk mendapatkan tambahan bimbingan ketika mengalami kesulitan, siswa harus membayar gurunya untuk biaya les privat. Hal ini memang masih secara nyata terjadi. Guru harus mengakui, bahwa salah satu kendala terbesar untuk memberikan fasilitas pengajaran yang ideal adalah berkaitan dengan kondisi finansialnya. Namun apakah ini berarti guru harus selalu mengesampingkan perannya sebagai pemimpin yang transformasional?


4. Inovasi

Salah satu hal yang paling sulit untuk dipenuhi dari seorang guru adalah menjadi selalu kreatif dan mampu berinovasi. Guru dituntut untuk selalu mampu mengatasi perubahan yang ada. Padahal, satu-satunya hal yang tidak pernah berubah adalah perubahan. Banyak perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, misalnya kurikulum, garis besar pengajaran, dan sistem pendidikan yang kesemuanya itu harus mampu diantisipasi. Tidak ada cara lain bagi seorang guru untuk mengatasi perubahan, yaitu dengan cara berubah. Guru harus mampu mengubah metode ajarnya jika diperlukan. Guru harus pula mampu untuk mengubah media ajar, sewaktu-waktu. Intinya adalah selalu berinovasi dan selalu berusaha menemukan suatu cara yang baru untuk menyampaikan bahan ajar.

Dalam kenyataannya, begitu banyak pengajar yang hanya mengandalkan metode yang lama, satu arah, guru sebagai nara sumber. Banyak pula guru yang sudah lama berpijak pada paradigmanya yang old fashion, merasa nyaman, sulit berubah dan miskin inovasi. Padahal sikap yang harus dikembangkan oleh seorang guru transformasional adalah menerima tantangan untuk berproses. Selalu mencari kesempatan dan tantangan untuk berubah, bertumbuh, berinovasi, dan menjadi lebih baik.


5. Mobilitas

Guru yang transformasional akan terus berusaha dengan segala daya upaya untuk memperkuat setiap siswa yang diajarnya untuk mencapai keberhasilan. Guru yang demikian akan mengerahkan segala sumber daya yang dimilikinya agar siswa dapat meraih visinya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas komunikasi dengan siswanya, melalui berbagai sarana yang tersedia seperti: telpon, e-mail, blog, sms, facebook, milist dan sebagainya.

Pada prakteknya banyak sekali guru yang justru membatasi komunikasinya dengan murid mereka. Mereka merasa komunikasi dengan siswa mereka merupakan hal yang harus dibatasi oleh jam kerja mereka, sehingga mereka akan merasa terganggu sekali ketika kehidupan pribadinya di masuki oleh siswa-siswa yang sebenarnya justru harusnya menjadi prioritas mereka. Dengan memobilitas segala daya dan upaya, seharusnya guru dapat menjalani peran mereka sebagai agent of change yang pada gilirannya akan memberikan kepada siswa-siswa mereka kapasitas untuk bertindak.


6. Siap Siaga

Guru yang transformatif harus selalu alert akan adanya perubahan. Dia harus mengenali dirinya sendiri dengan baik, tahu akan kekuatan dan kelemahannya sendiri, serta mampu bersahabat dengan perubahan. Sikap seperti inilah yang nantinya akan mendorong mereka untuk mengambil langkah strategis yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, walaupun dalam dunia pendidikan yang berubah-ubah polanya.

Dalam penerapannya di sekolah, seringkali banyak guru terpaku pada pola lama mereka. Mereka sangat merasa nyaman dengan cara mengajar dan kebiasaan mengajar mereka yang lama. Keluar dari comfort zone merupakan tantangan bagi setiap guru dalam pengembangan kualitas pengajaran mereka.


7. Tekad

Tekad bulat harusnya merupakan sikap yang berusaha ditumbuhkan dalam jiwa siswa didik. Seharusnya guru selalu memberikan inspirasi kepada siswa untuk maju dan berani menghadapi tantangan. Guru Harus memiliki wawasan spiritual yang cukup untuk memperlengkapi siswa tidak hanya pada kawasan kognitif, tapi juga memperlengkapi siswa dalam kawasan mental spiritual, sehingga siswa memiliki pemahaman yang utuh mengenai apa yang akan dicapainya dan terbantu secara moral untuk membangun tekad yang bulat dalam mencapai tujuannya.

Guru seharusnya memahami dirinya memiliki beberapa dimensi peran bagi para siswa, sesuai dengan kondisi tertentu. Ada kalanya guru bertindak sebagai pemimpin, yaitu ketika dia mengajak siswa untuk menggapai visi akademisnya. Ada saatnya, guru berperan sebagai pelatih (coach), ketika membimbing siswa untuk menguasai sebuah ketrampilan tertentu dengan banyak berlatih. Terkadang guru harus mampu menjadi fasilitator ketika siswa berargumentasi dan berdebat. Guru harus mampu menjadi penengah ketika terjadi pertikaian dan adu pendapat. Dengan cara demikian, guru bisa mempengaruhi siswa dalam pembentukan cara berpikir, motivasi, semangat, dan tekad siswa untuk mencapai tujuan mereka.


Hasil penelitian terhadap praktek kepemimpinan transformasional

Beberapa pertanyaan mengenai transformational leadership adalah: “Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan transformasional terhadap pencapaian belajar siswa?”

Pertanyaan tersebut nampaknya juga pernah menjadi sebuah pertanyaan penelitian yang dicoba dijawab dengan berbagai penelitian.

James Pounder, seorang peneliti di Universitas Abu Dhabi adalah salah seorang yang mempertanyakan seberapa jauh relasi antara kepemimpinan transformasional, dan efek kepemimpinan tersebut di kelas. Studi di lakukan dengan mengambil sampel sebanyak 475 orang mahasiswa. Hasilnya mengatakan bahwa ternyata, dari beberapa kualitas kepemimpinan transformasional yang diuji seperti idealized leadership(atribut), idealized influence(tingkah laku), motivasi inspirasional, konsiderasi individual, dan stimulasi intelektual, akan berkorelasi sangat signifikan dengan peningkatan mutu siswa(extra effort, efektifitas, dan kepuasan).[10]

Penelitian lainnya dilakukan oleh Dong I. Jung di Universitas San Diego yang meneliti mengenai pengaruh dan hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan meningkatnya kreatifitas di dalam sebuah kelompok, dibandingkan dengan praktek kepemimpinan transaksional. Dia menggunakan 194 responden mahasiswa, dan hasilnya mengidentifikasikan bahwa terjadi korelasi yang lebih signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan naiknya mutu kreatifitas kelompok(diwakili oleh kualitas fluency dan fleksibilitas), dibandingkan dengan pengaruh kepemimpinan transaksional.[11]


Kesimpulan

1. Sekolah adalah merupakan sebuah organisasi yang harus mengikuti perkembangan jaman, sebagai organisasi organik di era quantum.

2. Dalam menghadapi perubahan yang begitu cepat dibutuhkan kepemimpinan yang handal dan mampu mengelaborasi setiap anggota organisasi

3. Kepemimpinan transformasional mampu diterapkan dalam tataran sekolah dan terbukti memiliki korelasi yang signifikan dengan hasil belajar, dan kreatifitas individual dalam kelompok.

4, Penerapan 7 prinsip kepemimpinan transformasional dalam realitas praktisnya banyak mengalami kendala. Perlu pembelajaran dan komitmen tinggi dari para guru untuk melatih diri mereka untuk menerapkan prinsip ini dalam koridor yang benar.



Daftar Pustaka

Bass, B.(1985). Leadership and performance beyond expectation. New York : Free Press.

Burns, J. M.(1978). Leadership. New York : Harper & Row.

Business dictionary.(http://www.businessdictionary.com/definition/organization.html)

Drucker, P. F.(1988). The Coming of the New Organization. Harvard Business Review on Knowledge Management. Boston : Harvard Business School Press.

Jung, D. I.(2001). Transformational and transactional Leadership and their effects on creativity in group. Creativity Research Jurnal, Vol.13 No.2, 2001. Hal.185-195. Diunduh dari data base Springerlink.

Kouzes, J. M. and Posner, B. Z.(1995). The leadership challenge : how to keep getting extraordinary things done in organization. California : Jossey-Bass.

Nanus, B.(1992). Visionary Leadership : creating a compelling sense of direction for your organization. California : Jossey-Bass.

Northouse, P. G.(2007). Leadership : theory and practice. California : Sage.

Pounder, J. S.(2008). Transformational Leadership : practicing what we teach in the management classroom. Journal of education for Business September-October 2008. Hal.2-6. diunduh dari data base Springerlink.

Rees, E.(2001). 7 Principles of Transformational Leadership. (http://theleadership.wordpress.com/2006/07/27/synergy/)

Wijaya, M.(2005). Kepemimpinan Transformasional di sekolah dalam meningkatkan Outcomes peserta didik. Jurnal Pendidikan Penabur, 05/IV/2005. Hal.118-127.

Youngblood, M. D.(2005). Leadership at the Edge of Chaos : from control to creativity. Strategic Management in the Knowledge Economy. New Jersey : Wiley.



[1] Youngblood, Mark D. (2005) Strategic Management in the KW Economy : the Quantum Organization.

* Quantum organization adalah konsep Youngblood mengenai organisasi di abad quantum, dimana terjadi lompatan pergerakan konsep yang besar mengenai basis orientasi organisasi dari industri kepada knowledge based organization.

[2] Business dictionary (http://www.businessdictionary.com/definition/organization.html)

[3] Drucker, P. F.(1988). The coming of New Organization

[4] Northouse, Peter G. (2007). Leadership : theory and practice

[5] Kouzes, J. M and Posner, B.Z(1995). The Leadership challenge : how to keep getting extraordinary things done in organizations.

[6] Burns, J.M.(1978). Leadership

[7] Bass, B.M.(1985). Leadership and performance beyond expectation.

[8] Nanus, Burt(1992). Visionary Leadership : creating a compelling sense of direction for your organization.

[9] Rees, E.(2001). 7 principles of transformational leadership

[10] Pounder, J. S.(2008).Transformational leadership:practicing what we teach in the management classroom.

[11] Jung, D. I.(2001). Transformasional and Transactional Leadership and their effects on creativity in Groups.