Artikel Populer

Selasa, 17 Maret 2009

Literasi Informasi 7 : Aplikasi The Big6 dalam pengajaran di sekolah

Dibagian akhir ini saya akan menjelaskan mengenai aplikasi model literasi Informasi The Big6, dalam dua jenis sekolah yang berbeda. Yang pertama adalah sekolah yang menggunakan kurikulum internasional, yaitu IB yang sangat menekankan karakteristik berpikir secara kritis dan analitis pada pola pengajaran siswanya.

Untuk contoh aplikasi yang pertama, penulis akan membagikan beberapa hal yang didapat dari pengalaman penulis sendiri ketika mengajar di Sekolah Pelita Harapan Karawaci yang menggunakan kurikulum IB, sebagai guru-pustakawan untuk siswa kelas menengah pertama dan atas. Selain itu, penulis juga memiliki pengalaman sebagai pengajar di sekolah internasional Stella Maris BSD juga menggunakan kurikulum IB. Penulis berharap dari contoh aplikasi ini didapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai penggunaan model Literasi Informasi Big6 tersebut dalam pengajaran yang memiliki karakteristik penekanana yang berbeda-beda.

PENGGUNAAN MODEL LITERASI BIG6 DI SEKOLAH INTERNASIONAL

KURIKULUM IB

IB (International Baccalaureate) adalah sebuah program kurikulum internasional yang bisa didapatkan secara franchise bagi berbagai sekolah didunia. Kurikulum ini terdiri dari 3 program untuk siswa berumur 3 sampai dengan 19 tahun, yaitu Primary Years Program(untuk elementary dan primary school), MYP, yaitu Middle Years Programme (untuk siswa menengah pertama), dan IB-Diploma Programme (untuk siswa menengah atas). Program-program ini dibuat dengan penekanan kearah pembentukan intelektual, personal, emosional, dan keahlian social agar siswa dapat hidup, belajar, bekerja didalam dunia yang global ini (International Bacalaureate Organization, 2008).

Lebih lanjut dalam misinya, kurikulum IB mengedepankan cara berfikir kritis (baca:inquiring), dan menjadi “lifelong learners” dalam dunia global ini. Konsep Lifelong learners inilah yang harus di support dengan keahlian Literasi Informasi. Tujuan ini sejalan dengan tujuan yang dicanangkan oleh ALA (American Library Association), diawal rumusan konsep implementasi Literasi kedalam kurikulum pendidikan di Amerika dan dunia pada saat itu. Dengan adanya struktur kurikulum yang demikian, maka untuk mendapatkan izin menggunakan kurikulum ini, sebuah sekolah harus mengajukan permohonan, membayar biaya tertentu dan bersedia di akreditasi. Akreditasi tersebut dilakukan untuk memastikan kesanggupan dan kesiapan sekolah tersebut untuk menyediakan berbagai fasilitas dan sistem yang mendukung berjalannya kurikulum tersebut dengan baik dan lancer. Salah satu prasyaratnya adalah diajarkannya literasi informasi oleh guru-pustakawan (teacher Librarian).

Dalam prakteknya, Literasi Informasi akan lebih ideal apabila dilakukan secara berkolaborasi antara guru-pustakawan dengan guru kelas. Hal ini untuk membuat kegiatan literasi tersebut menjadi satu hal yang tidak hanya bersifat teoritis, melainkan juga dapat dipraktekkan secara praktis dan terpadu dengan berbagai pelajaran dalam kurikulum tersebut.

SPH KARAWACI.

Literasi Informasi yang dilaksanakan di SPH Karawaci pada saat penulis menjadi guru-pustakawan adalah dengan langsung berkolaborasi dengan guru-guru kelas di jajaran middle school. Mata pelajaran yang paling sering bisa diajak berkolaborasi adalah mata pelajaran bahasa, baik bahasa Inggris, maupun bahasa Indonesia. Guru pustakawan bersama dengan guru bahasa, merencanakan beberapa kali pertemuan(kunjungan siswa ke perpustakaan) untuk diberikan konsep Big6 dan beberapa keahlian literasi informasi yang akan digunakan dalam menyelesaikan “project” bersama. Misalnya, project bersama yang disepakati adalah : anak harus membuat brosur travel berwarna. Maka untuk menyelesaikan project tersebut, siswa akan diberikan beberapa sesi sbb:

- Sesi 1 : penjelasan apa itu the Big6 dan pentingnya untuk mengerjakan project brosur travel tersebut.

- Sesi 2 : Siswa diberi penjelasan mengenai apa itu topic, research question secara sederhana, dan diberi penjelasan mengenai cara mencari sumber-sumber informasi yang dibutuhkan untuk membuat brosur tersebut. Misalnya cara menggunakan search engine, menggunakan ensiklopedia, kamus, dan sebagainya.

- Pertemuan berikutnya adalah evaluasi aplikasi pelaksanaan Big6 (step 1-3) dalam pembuatan brosur tersebut.

- Sesi 3 : siswa diberi sesi penggunaan informasi. Misalnya cara merangkum, membuat paraphrase, mengutip sumber-sumber foto, peta, dsb.

- Sesi 4 : Siswa diberi penjelasan bagaimana membuat outline dari brosur tersebut dan mengorganisasikan berbagai informasi yang telah didapatkan sehingga menjadi satu brosur travel.

- Pertemuan berikutnya dilakukan di lab computer, untuk menyatukan berbagai sumber informasi menjadi sebuah brosur travel.

- Sesi 5 : siswa dijelaskan apa yang harus dievaluasi baik dari hasil brosur tersebut, maupun proses pembuatan brosur tersebut.

Penilaian terhadap project tersebut dilakukan oleh 2 pihak sekaligus. Produk (yaitu brosur), baik dari segi isi dan kualitas dinilai oleh guru. Sedangkan untuk proses, dengan mengikuti semua langkah dari model literasi informasi Big6, dinilai oleh guru pustakawan dengan menggunakan kertas kerja siswa yang berisi petunjuk dan panduan bagi siswa untuk bekerja secara sistematis. Karena sifatnya adalah pengawasan proses dari aplikasi, maka untuk tiap langkah yang berhasil diselesaikan siswa, guru-pustakawan memberikan catatan atau persetujuan bahwa langkah tersebut sudah selesai dan ditandatangani oleh guru pustakawan.

Dengan kolaborasi ini maka model literasi ini dapat diterapkan di hampir setiap level kelas pada pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Selain itu penulis juga diminta untuk memberikan sesi TOT(Training of Trainer) mengenai Big6 kepada guru-guru yang ditunjuk untuk memberikan pengajaran ini, sehingga nantinya Model literasi Informasi ini dapat diterapkan di semua bidang mata pelajaran yang diberikan, secara terintegrasi.

STELLA MARIS SCHOOL

Tahun 2005-2007 merupakan saat yang berharga bagi penulis untuk membangun kelas Literasi Informasi yang mandiri di sekolah Stella Maris International School. Saat itu penulis benar-benar dilibatkan dalam implementasi kurikulum IB yang pertama kali di sekolah Stella Maris. Untuk menjadi sekolah dengan menggunakan kurikulum IB, maka sekolah Stella Maris juga harus di akreditasi awal oleh tim dari IB wilayah Asia Pasifik, yang berpusat di Singapore.

Guru Pustakawan menjadi salah satu persyaratan dalam akreditasi ini. Selain itu mereka juga melihat program-program guru-pustakawan dalam mendukung Literasi Informasi di Sekolah yang akan di buka ini.

Karena itu penulis diberi kesempatan oleh tim akademis Sekolah Stella Maris untuk mengajar para siswa di kelas X, yang berstatus pre-IB (IB mulai di kelas XI), untuk mengajarkan Literasi Informasi, yang disekolah tersebut disebut sebagai mata pelajaran (Extended Essay Preparation).

EE (Extended Essay) adalah tugas akhir yang harus diserahkan oleh semua siswa IB di kelas XII, sebagai syarat kelulusan. Tugas ini adalah “tugas paling menantang” dari keseluruhan tugas yang diberikan di kelas XII. Tugas esai yang diberikan ini berupa esai yang terdiri dari 4000 kata, merupakan tinjauan yang sederhana dengan cakupan yang kecil namun harus dibuat dengan pemahaman dan riset yang dalam. Sekilas, tugas EE tidak ada bedanya dengan skripsi tingkat sarjana. Yang membedakannya hanya masalah panjang karangan yang tidak boleh lebih dari 4000 kata.

Dikelas itulah penulis mengajarkan berbagai macam metode, praktek, kolaborasi dengan mata pelajaran lain, yang berkaitan dengan literasi informasi. Jam pelajaran yang diberikan kepada penulis adalah 2 sks se minggu, mengingat selain sebagai pengajar EE, penulis juga merupakan coordinator CAS(Creativity, Action and Service) bagi siswa IB, dan juga bertindak sebagai kepala perpustakaan pusat dari 2 perpustakaan di kampus tersebut.

Dalam 2 semester, penulis memberikan antara lain beberapa keahlian literasi informasi seperti:

Semester 1

  1. Learning styles
  2. Big6
  3. Topik dan Research Questions (berkaitan dengan langkah 1 Big6)
  4. Pengenalan sumber-sumber infomasi (langkah ke 2 Big6)
  5. Note taking (tehnik mencatat)
  6. Tehnik presentasi (project presentasi powerpoin)
  7. Presentasi Project tulisan 1000 kata( di sidangkan didepan semua guru IB).

Semester 2

  1. Internet research (internet literacy)
  2. Web evaluation
  3. Tehnik membaca efektif (SQ3R)
  4. Plagiarism dan model sitasi
  5. Tehnik menulis dan membuat outline
  6. Evaluasi
  7. Presentasi project tulisan akhir 2500 kata (di sidangkan didepan semua guru IB)

Dalam masa 2 tahun yang berharga ini penulis sangat beruntung karena kelas EE preparation ini dijadikan sebagai objek yang diteliti dalam skripsi salah satu mahasiswa Fakultas Sastra, Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Universitas Indonesia, yaitu saudari Nabila Azhar yang membahas mengenai pengaruh Program Information Literacy(model Big6) dalam penulisan esai pada siswa kelas XI IB di Sekolah Stella Maris International School.

Dari penelitian tersebut dibuktikan secara kwalitatif, bahwa terdapat perbedaan kualitas pada siswa-siswa IB Grade XI di Sekolah Stella Maris, dalam mengerjakan tugas esai mereka. Berbagai keahlian yang tercatat dalam Literasi Informasi, sudah dapat tercakup dan digunakan dalam kegiatan penulisan esai mereka. Mereka sudah memiliki pemahaman mengenai pembuatan Research Question, internet literacy, Web evaluation, Outlining, dan evaluation. Tentunya, penguasaan model ini akan berdampak positif dalam peningkatan mutu belajar mereka di sekolah. (Azhar, 2007)

Literasi Informasi 6 : BIG6 sebagai salah satu metode Literasi Informasi

THE BIG6

Salah satu model Literasi Informasi yang paling banyak digunakan di sekolah-sekolah dan di lembaga pendidikan adalah the Big6. The Big6 dikembangkan oleh 2 orang professor di bidang ilmu informasi dari Universitas Syracusse. Mereka juga sudah berpengalaman dalam mengajar di sekolah-sekolah di Amerika selama puluhan tahun.

Dari penelitian dan pengamatan mereka selama puluhan tahun itulah maka lahirlah sebuah rumusan yang agak berbeda dengan beberapa model Literasi Informasi yang sudah dibuat sebelumnya seperti model Kulthau dan Strippling misalnya.

Keunikan dari model the Big6 ini antara lain adalah karena model ini di klaim oleh pembuatnya sebagai sebuah model “problem solving” dalam menyelesaikan masalah informasi. Hal ini berbeda dengan beberapa model lainnya yang memang sudah diarahkan secara khusus untuk menyelesaikan masalah dalam penulisan.

Karena itu, maka model ini sifatnya lebih fleksibel dari model-model literasi informasi lainnya, karena model ini bisa diterapkan pada hampir semua masalah manusia yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yang menggunakan informasi sebagai dasar pengambilan keputusannya. Misalnya : memutuskan apakah saya harus membeli buku A atau B? Apakah saya harus bekerja sambil sekolah? Apa yang akan saya bawa sebagai hadiah ulang tahun temanku Robi? Apakah topik esai yang akan aku pilih? dan sebagainya.

The Big6 seperti namanya, memiliki 6 buah langkah efektif yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah, “step by step”. Setiap langkah diperjelas dengan 2 subdivisi. Keenam langkah tersebut adalah:

Step 1

Task Definition/Mendefinisikan masalah.

Dalam tahap ini, kita diajak untuk memulai perjalanan untuk memecahkan masalah kita dengan mendefinisikan masalah secara menyeluruh. Step pertama ini terdiri dari 2 subdivisi sbb:

    1. Definisikan permasalahannya. Dalam penulisan, maka tahap ini adalah penentuan topik dan menjelaskan pertanyaan riset (Research Question). Cara yang digunakan untuk mendapatkan topic, misalnya dengan cara : brainstorming menggunakan 5W-1H, free writing, dsb.
    2. Mengidentifikasi kebutuhan informasi. Disini kita berusaha membatasi kebutuhan informasi pada apa yang menjadi persoalan saja. Kita bisa mendaftarkan semua “keyword” yang berhubungan dengan topic yang kita pilih. Misalnya dengan menggunakan “mind mapping”.

Step 2

Information Seeking Strategies/ Strategi pencarian informasi.

Dalam tahap ini, setelah kita membatasi informasi apa yang akan kita cari, maka kitapun dapat membatasi perencanaan terhadap sumber-sumber informasi yang kita cari. Minimal yang menjadi criteria penyeleksian sumber, adalah : otritatif, kebaruan, dan akurasi. Subdivisi dari tahap 2 ini adalah:

a. Melakukan brainstorm terhadap semua sumber informasi pendukung yang mungkin untuk digunakan. Untuk itu, maka siswa haruslah diajar untuk memiliki wawasan yang luas terhadap berbagai sumber informasi, baik yang tersedia di perpustakaan, ataupun sumber-sumber yang bersifat primer seperti wawancara langsung kepada narasumber, pengambilan foto, pencatatan data dengan observasi. Dsb.

b. Memilih sumber-sumber yang terbaik. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan 3 kriteria pemilihan sumber diatas, yaitu: otoritatif, kebaruan dan akurasi. Tentunya, semua itu juga disesuaikan oleh lama waktu pengerjaan, dan ketersediaan sumber informasi.

Step 3

Location and Access/ Lokasi dan akses

Tahap ini merupakan tahap dimana siswa harus memiliki kemampuan untuk menggunakan indeks. Hampir semua informasi yang tersedia didunia ini tersusun dalam indeks, agar memungkinkan untuk ditemukan kembali dengan cepat. Buku-buku teks biasanya memiliki indeks dibagian belakang halamannya. Ensiklopedia, baik umum maupun khusus juga memiliki indeks yang biasanya merupakan volume terakhir dari jajaran semua volumnya.Perpustakaan juga memiliki indeks berupa OPAC (Online Public Access Catalog), begitupun internet dengan search engine-nya.

Dengan kemampuan menggunakan indeks ini, maka pencarian informasi yang tersimpan dalam berbagai sumber informasi dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Adapun subdivisi dari step ini adalah:

a. Mencari sumber-sumber informasi. Disini kemampuan siswa dalam mengenali lokasi sumber-sumber informasi sangat dibutuhkan. Misalnya kemampuan mencari buku yang sesuai dengan menggunakan OPAC dan menggunakan “Boolean” untuk mempersempit, memperluas pencarian melalui indeks elektronik seperti OPAC dan search engine atau meta search engine yang ada.

b. Mencari informasi dalam sumber. Disini kita dihadapkan pada persoalan untuk mengenali informasi yang kita butuhkan. Ingat, tidak semua informasi yang kita dapatkan dari berbagai sumber itu dibutuhkan. Karena itu maka kita harus mencari sumber-sumber, serta informasi yang relevan dengan kebutuhan kita.

Step 4

Use of Information/Menggunakan informasi yang sudah tersedia. Dalam tahap ini kita dihadapkan pada masalah pemilihan cara yang efektif untuk menyaring dan memeras informasi yang banyak jumlahnya tersebut menjadi informasi yang terseleksi dan siap dipakai dalam berbagai permasalahan kita. JIka kasusnya adalah menulis, maka pada tahap keempat ini kita dihadapkan pada tahap dimana semua informasi sudah berada ditangan kita, dan kita harus menyeleksi informasi ditangan kita tersebut. Subdivisi dari tahap ke empat ini adalah sebabagai berikut:

a. Engage/ menangani informasi yang tersimpan, dengan cara membaca, mendengarkan, mewawancarai, mengamati dan mengobservasi informasi tersebut. Disini siswa bisa diajarkan beberapa keahlian, seperti note taking dengan menggunakan tehnik seperti cornell, mindmapping, dsb. Juga beberapa tehnik untuk membaca, seperti tehnik afiksasi membaca cepat, atau SQ3R (Survei, Questioning, Reading, Recite, Review).

b. Menyarikan informasi yang ada. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan: kutipan, atau paraphrase dan membuat summary. Dengan menggunakan berbagai cara ini maka kita dapat mengambil dan mengidentifikasi bagian-bagian yang benar-benar penting dan relevan dengan permasalahan kita.

Step 5

Synthesis/Sintesa.

Dalam step ini, kita melakukan penggabungan berbagai informasi yang telah kita dapatkan dan masih tersebar secara konsep. Subdivisinya adalah:

a. Organise/mengorganisasikan berbagai sumber yang terpisah-pisah menjadi satu bentuk produk/hasil yang sitematis. Untuk itu dalam tahap ini beberapa keahlian harus diajarkan kepada siswa, seperti misalnya menulis, membuat “outline” karangan, dan berbagai tips untuk membuat kalimat yang efektif, atau menggunakan ilustrasi dan sebagainya.

b. Presentasi, yaitu menunjukkan, menyebarkan informasi yang tersimpan dalam produk kita kepada orang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung konteksnya. Misalnya presentasi powerpoint, data statistic, table, perbandingan, cerita, narasi, bentuk-bentuk sastra seperti puisi, cerpen dab. Untuk subdivisi ini siswa membutuhkan keahlian penggunaan software pembantu dalam membuat presentasi, seperti powerpoin, flash, movie maker dsb.

Step 6

Evaluasi. Dalam tahapan ini, yang diharapkan adalah bagaimana siswa dapat memberikan penilaian terhadap hasil dan proses yang sudah berhasil dilaluinya. Adapun subdivisi dalam tahapan evaluasi ini adalah meliputi:

a. Evaluasi produk, yaitu evaluasi mengenai bentuk hasil/produk dari kegiat an riset yang kita lakukan. Misalnya dengan memperhatikan beberapa pertanyaan seperti: Apakah tulisan kita sudah dapat menjawab pertannyaan di dalam introduction? Apakah pernyataan-pernyataan dan argumentasi kita sudah cukup didukung oleh fakta yang tersimpan dalam berbagai sumber. Apakah sudah cukup grafik, tabel yang kita harus pakai untuk mendukung pendapat kita.

b. Evaluasi proses, yaitu evaluasi yang lebih mengarah pada: cara dan proses pembuatan tulisan tersebut. Beberapa pertanyaan yang bisa membantu dalam evaluasi proses adalah: Kesulitan apa yang harus dihadapi saat mengerjakan tugas ini? Langkah yang mana yang paling sulit untuk dikerjakan? Apa yang harus saya ubah dalam mengerjakan proses yang sama seperti ini di waktu yang akan datang?

Demikian sedikit paparan mengenai model literasi the Big6. Yang ingin saya jelaskan disini mengapa saya mengambil the Big6 sebagai dasar model literasi informasi yang saya ajarkan dalam kegiatan LI saya di berbagai sekolah, antara lain adalah karena:

  1. Sesuai dengan apa yang saya katakana diatas, model ini tidak hanya dapat digunakan sebagai hirarki berfikir yang sistematis untuk mengerjakan penulisan, tapi dapat digunakan sebagai “problem solving tool” dalam memecahkan setiap masalah yang berkaitan dengan informasi sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.
  2. The Big6, merupakan model yang sudah sangat luas dipakai diberbagai sekolah di Amerika, Australia dan terutama sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum yang menekankan keahlian “analytical thinking” dan “critical thinking” seperti IB (International Baccaulaureate), atau beberapa kurikulum dari Australia seperti HSC (New Soutwales curriculum).
  3. Berbagai literature mengenai model ini tersedia secara luas, baik berupa literature tercetak seperti artikel jurnal, majalah, maupun buku-buku penunjang, maupun berbagai sumber informasi non cetak, seperti berbagai situs, mailing list, website dan berbagai artikel elektronik.
  4. Banyaknya sekolah di Indonesia yang juga sudah menggunakan model the Big6 ini juga mempermudah saya untuk bertukar pengalaman, kesulitan, serta memikirkan strategi yang diperlukan dalam pengembangan model ini dimasa yang akan datang.


Literasi Informasi 5 : Literasi Informasi sebagai salah satu literasi

LITERASI INFORMASI

Karena kebutuhan strategi untuk mendapatkan informasi yang relevan ditengah “information explotion” begitu sangat dibutuhkan di era informasi ini, maka dirumuskanlah sebuah keahlian baru yang sudah sejak tahun 1974 diperkenalkan sebagai Literasi Informasi.

Peter F. Drucker mengatakan bahwa :

Apa yang kita sebut dengan revolusi informasi sekarang ini, sebenarnya merupakan revolusi pengetahuan. Apa yang memungkinkan proses tersebut secara rutin berjalan bukanlah mesin. Komputer hanyalah pemicu. Perangkat lunak adalah re-organisasi dari cara kerja yang tradisional, dengan berdasarkan pada pengalaman selama beberapa abad melalui aplikasi pengetahuan dan secara khusus analisa logika yang sistematis. Kuncinya bukan pada elektronik; tapi pada sains kognitif (Drucker, 1999).

Literasi Informasi adalah sebuah keahlian untuk mengenali kebutuhan informasi, sumber informasi, mencari, menggunakan dan mengevaluasinya. Dengan meninjau kata-kata Drucker diatas, maka kunci dari revolusi informasi adalah menggunakan cara-cara kognitif untuk terus menggulirkan revolusi informasi ini agar terus berjalan, dan untuk tetap bertahan agar kita tidak dilindas oleh informasi yang terus bertambah dengan pesat. Maka sudah seharusnya gaya berfikir yang menunjukkan Literasi Informasi harus dikembangkan oleh setiap anak didik.

Maka tepatlah, jika rumusan Literasi Informasi diatas diwujudkan dalam pembinaan kognitif di lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal, agar anak didik di setiap jenjang pendidikan nantinya dapat mengantisipasi era informasi, dengan memiliki ketrampilan Literasi Informasi, dan dapat mengatasi masalah informasi mereka sendiri dengan efektif.

Dengan berpijak pada beberapa hal diatas, maka pada tahun 1989, dirumuskanlah sebuah kebijakan oleh American Library Ascociation (ALA) dalam “A Progress Report on Information Literacy: An Update on the American Library Association Presidential Committee on Information Literacy: Final Report “ ditegaskan

mengenai pentingnya Literasi Informasi untuk diterapkan secara nasional dan menjadi urgensi Negara. Adapun beberapa rekomendasi yang penting untuk dicatat adalah:

  1. Haruslah di tata ulang cara untuk mengorganisasikan informasi secara institusi, akses struktur informasi, dan mendefinisikan ulang peran informasi dalam kehidupan kita di rumah, masyarakat dan pekerjaan.
  2. Koalisi Literasi Informasi harus dibentuk dibawah ALA, yang akan berkoordinasi dengan berbagai organisasi dan badan nasional.
  3. Riset dan demonstrasi proyek yang berkaitan dengan Literasi Informasi. (hal ini diterapkan salah satunya dengan cara asimilasi Literasi Informasi dengan kurikulum mulai tahun 1994-1995 dengan universitas dan perguruan tinggi)
  4. Departemen pendidikan, yaitu komisi pendidkan menengah atas dan Badan pendidikan Pemerintah bertanggungjawab untuk mendidik siswa untuk Literate dalam hal informasi.
  5. Pendidikan guru dan penilaian performa perlu dimodifikasi dan menyertakan Literasi Informasi.
  6. Pemahaman dan hubungan Literasi Informasi dengan tema konferensi di gedung putih mengenai Perpustakaan dan layanan informasi harus di promosikan(American Library Association, 1998).


LITERASI INFORMASI DIANTARA BERBAGAI PENGERTIAN LITERASI

Dalam perkembangan teknologi informasi dan internet (ICT) dewasa ini, maka timbul beberapa perkembangan yang mendorong perubahan konsep literasi awal, menjadi konsep baru literasi yang memiliki pengertian yang berkaitan dengan beberapa keahlian baru yang harus dimiliki oleh siswa.

International Literacy Institute, menjelaskan bahwa pengertian literasi sendiri sekarang sudah berkembang dan diartikan menjadi sebuah “range” keahlian yang relatif (tidak absolut) untuk membaca, menulis, berkomunikasi dan berfikir secara kritis.

Karena itu maka Tapio Varis, Ketua umum UNESCO untuk Global E-Learning mengatakan bahwa dengan berkembangnya teknologi computer dan informasi, maka literasi bisa dipetakan menjadi beberapa jenis, yaitu :

  • Literasi teknologi : yaitu keahlian untuk menggunakan internet dan mengkomunikasikan informasi.
  • Literasi Informasi : yaitu keahlian untuk melakukan riset dan menganalisa informasi sebagai dasar pengambilan keputusan
  • Literasi media: yaitu keahlian untuk menghasilkan, mendistribusikan, serta mengevaluasi isi koleksi pandang dengar (Audio Visual)
  • Literasi Global : yaitu pemahaman akan saling ketergantungan manusia didunia global, sehingga mampu berpartisipasi di dunia global dan berkolaborasi.
  • Literasi kompentensi sosial dan tanggungjawab : lebih kepada pemahaman etika dan pemahaman terhadap keamanan dan privasi dalam berinternet(McPerson, 2007).

BEBERAPA MODEL LITERASI INFORMASI

Sejak itu banyak sekali diterbitkannya berbagai model Literasi Informasi dari berbagai Negara. Model-model tersebut memiliki beberapa panjang proses dan penekanan yang berbeda pula pada setiap prosesnya. Namun kesamaan berbagai model Literasi informasi adalah tidak kehilangan konsep intinya, yaitu mengenali kebutuhan informasi, mencari, menggunakan dan mengevaluasinya. Beberapa model Literasi informasi antara lain adalah:

  1. The Big6, dibuat oleh Michael Eisenberg dan Berkowitz, tahun 2000, berisi 6 langkah Literasi Informasi, yaitu Task Definition, Information Seeking Strategies, Location and Access, Use of Information, Synthesis, dan Evaluation.
  2. Guided Inquiry oleh Carol Kulthau dan Ross Todd, berisi 7 langkah Literasi Informasi, yang berisi : Initiation, selection, Exploration, Formulation, Collection, Presentation, Assessment.
  3. Kulthau model, berisi 6 langkah Literasi Informasi, yaitu: Initiation, Selection, Exploration, Collection, Search Closure, Presentation
  4. The 8Ws, terdiri dari 8 langkah Literasi Informasi yaitu: Watching(exploring), Wondering(questioning), Webbing(Searching), Wiggling(Evaluating), Weaving(Synthetising), Wrapping(Creating), Waving(Communicating), Wishing(Assesing).
  5. The 7 Pillars (SCONUL), dari Society of College, Berisi 7 langkah Literasi Informasi yang dibuat cenderung disiapkan untuk digunakan dalam universitas, dan perguruan tinggi, yaitu: Recognise Information Need, Distinguish way of addressing gap, Construct strategies for locating, Locate and Access, Compare and evaluate, Organize, apply and communicate, Synthesise and create.
  6. Empowering 8, sebuah model yang dikembangkan oleh para pustakawan di Asia, berisi 8 langkah Literasi Informasi yang terdiri dari : identify, Explore, Select, Organize, Create, Present, Assess, and Apply.
  7. 7 Langkah Literasi Informasi yang dikembangkan oleh Universitas Atmajaya, berisi 7 langkah Literasi Informasi yang lebih merupakan penggabungan antara the Big6 dan empowering 8. Langkah-langkahnya adalah : Perumusan masalah, Mengidentifikasi sumber informasi, mengakses informasi, Menggunakan informasi, Menulis, Mengevaluasi, Menarik pelajaran(ICTNZ, 2007).

Senin, 16 Maret 2009

Literasi Informasi 4 : Information overload dan information filtering

INFORMATION OVERLOAD

Ketika era berpindah dari industrialisasi kepada era informasi, maka banyak pula perubahan konsep manusia mengenai informasi. Di era industrialisasi, yang dianggap kuat adalah mereka yang memiliki sumber daya manusia terbanyak untuk melakukan proses produksi. Namun di era informasi, justru yang dianggap kuat adalah mereka yang memiliki akses informasi dan dapat memanipulasi informasi tersebut untuk kepentingan ekonomis.

Karena itulah di jaman yang serba informatif ini, manusia tidak lagi memiliki batasan yang sempit untuk memperoleh informasi. Informasi dapat dijangkau dengan sangat luas, kapan saja, dimana saja dengan menggunakan berbagai alat pencari informasi.

Namun sayangnya, ada hal yang sangat berbahaya mengenai informasi, yaitu mudah sekali meledak. Informasi yang tersedia di jaman informasi ini begitu cepatnya bertambah dengan berlipat ganda. Dalam bukunya The Micro Revolution Revisited, Peter Large mengatakan bahwa informasi yang dihasilkan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, jumlahnya lebih banyak dari pada yang dihasilkan dalam kurun waktu 5000 tahun sebelumnya. Kurang lebih 1000 buah buku diterbitkan secara internasional setiap hari, dan total jumlah semua pengetahuan tercetak jumlahnya bertambah dua kali lipat setiap 8 tahun.(Large, 1984).

Menurut data yang dikumpulkan oleh Michael Lesk, saat ini data dalam bentuk teks Ascii(American Standard Code for Information Interchange) yang disimpan oleh Library of Congress, yaitu perpustakaan terbesar didunia, adalah sebesar kurang lebih 20 terabytes. Besaran ini dihitung dengan asumsi bahwa 1 buah buku digital membutuhkan 1 megabite, dan koleksi buku digital LC kira-kira berjumlah sebesar 20 juta judul. Jika jumlah ini ditambahkan dengan koleksi lainnya seperti foto, peta, film, dan rekaman suara, maka diperkirakan jumlah informasi dalam bentuk data yang disimpan oleh LC adalah sebesar 3 petabytes(setara dengan 3.000 terrabytes). Sementara itu data yang dipergunakan oleh Lexis-Nexis, yaitu sebuah server terbesar didunia yang menyimpan berbagai artikel majalah, surat kabar, catatan, dokumen, serta “legal record” dari berbagai sumber untuk bidang hukum, korporasi, legal aspek, dan akunting dan akademis di Amerika, memiliki data sebesar 5.9 terrabytes(Lesk, 2005).

Pertambahan informasi secara “massive” yang terjadi secara kontinyu itulah yang mengakibatkankan terjadinya ledakan informasi di setiap bidang. Informasi baik cetak, verbal, maupun digital menjadi sangat besar jumlahnya dan semakin sulit untuk dicerna.

Belum lagi berkembangnya berbagai alat komunikasi. Berbagai alat komunikasi tersebut tidak hanya mengkomunikasikan informasi secara verbal dan visual, namun juga mampu untuk mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber informasi yang tersedia.

Yang, menjelaskan bahwa “information overload” adalah terjadinya kelebihan jumlah informasi yang tersedia, yang membuat prosesing dan penyerapan informasi menjadi sulit bagi seseorang, karena tidak dapat terlihatnya validitas informasi tersebut(Yang, 2003).

Dengan kondisi ini maka yang terjadi adalah kelelahan untuk mencari informasi. Orang menjadi jenuh dengan informasi, bahkan dalam kondisi yang lebih ekstrim dapat menimbulkan beberapa efek negative terhadap fisiologis manusia, seperti kelelahan mata, pikiran dan kelelahan jantung. tidak dapat memilah mana informasi yang terbaik untuk menjawab kebutuhannya. Orang menyebut gejala ini sebagai “information fatigue”.


INFORMATION FILTERING

Informasi sama seperti makanan. Kita membutuhkan makanan untuk kebutuhan metabolisme kita. Namun kita harus mengenali jumlah kebutuhan makanan, sehingga kita dapat makan dengan kenyang tanpa harus merasa “mual” karena terlalu banyak dijejali makanan. Hal yang sama juga terjadi terhadap informasi. Kita harus mengenali terlebih dahulu masalah kita, lalu seberapa banyak informasi yang kita butuhkan, serta melakukan seleksi informasi dengan seksama, sehingga kita tidak menjadi jenuh dan penat akan terlalu banyaknya informasi yang kita tangkap.

Masalahnya, tidak semua orang dapat berfikir demikian. Banyak orang yang disibukkan dengan pencarian informasi hanya untuk mencari hal-hal yang sepele, yang seharusnya bisa dijawab hanya dengan effort yang rendah. Hukum Pareto dalam dunia bisnis dengan menggunakan 80/20-nya mengatakan bahwa 80% hasil sukses usaha yang dilakukan, sangat ditentukan oleh 20% tugas yang kita lakukan. Jadi kalau kita gunakan pendekatan ini pada masalah pencarian informasi, maka akan didapatkan kesimpulan bahwa 80% keberhasilan usaha pencarian informasi, akan ditentukan oleh 20% efektifitas pencarian informasi tersebut.

GOOGLE DIANTARA MESIN PENCARI LAINNYA

Pengguna internet, dengan Google search engine misalnya, mencari definisi dari kata “cancer”, dengan cara mengetikkan kata “cancer” di kotak pencarian Google, dan mendapatkan sekitar 262.000.000 temuan mengenai kanker. Pastinya orang tersebut harus menyeleksi website terbaik yang bisa dia gunakan. Tidak akan semua temuan itu secara tepat bisa menjawab kebutuhan informasinya. Kemampuan untuk mencari dan mendeteksi informasi yang tepat seperti inilah yang disebut dengan “information filtering”, yang juga menjadi salah satu kepedulian dari generasi informasi ini.

BOOLEAN SEARCH

Berbagai cara digunakan orang untuk berusaha menyaring informasi agar memperoleh informasi dengan tingkat relevansi yang tinggi. Google, sebagai search engine yang terbaik didunia misalnya, menjadi sangat diminati orang untuk digunakan sebagai mesin pencari karena konsep pencariannya yang unik. Jika anda perhatikan, maka anda akan mendapati bahwa pada umumnya, semua mesin pencari di internet diperlengkapi dengan logika pencarian yang disebut dengan Boolean logic. Metode ini adalah dengan menggunakan kata penghubung tertentu seperti And, Or, Not.

“AND”

Kapan kita menggunakan “and” dalam pencarian? Yaitu ketika kita mau mencari semua doumen yang berkaitan dengan 2 buah atau lebih query. Misalnya kita akan mencari semua dokumen di internet yang memiliki isi mengenai mobil toyota avanza, sekaligus toyota fortuner didalam satu dokumen, maka kita bisa menggunakan pencarian sbb:

Toyota avanza AND toyota fortuner

(Hasil yang didapat adalah semua dokumen yang mengandung 2 queri, toyota avanza dan toyota fortuner).

“OR”

Kita menggunakan penghubung “OR” ketika kita ingin mencari 2 atau lebih kelompok query yang tidak berkaitan. Misalnya, kita mau mencari dokumen terpisah mengenai toyota avanza, toyota fortuner dan toyota rush. Maka pencariannya adalah sbb:

Toyota avanza OR toyota fortuner OR toyota rush

(hasil yang didapat adalah 3 kelompok dokumen yang masing-masing berisi informasi mengenai toyota avanza, fortuner dan rush)

“NOT”

Penghubung ini (-) digunakan untuk membuat hubungan pengecualian(exclusive) dari sebuah query yang spesifik dengan query umumnya. Misalnya, kita mau mencari semua dokumen mengenai PEMILU, tapi bukan PEMILU CALEG. Maka pencariannya akan nampak sbb:

PEMILU –PEMILU caleg

(hasil yang didapat adalah semua dokumen mengenai PEMILU, kecuali PEMILU Caleg).

Selain Penghubung boolean tersebut diatas, hal yang menjadikan Google lebih unggul dibandingkan dengan mesin pencari lainnya adalah karena Google memiliki syntax lainnya yang bisa digunakan untuk mencari informasi di internet dengan lebih cepat, relevan dan mendetil.

Literasi Informasi 3 : Evolusi data ke wisdom

DATA, INFORMASI, PENGETAHUAN



Informasi adalah semua hal yang kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Semuanya! Nomor telpon, judul buku, nama masakan, film yang diputar, daftar belanja, nama orang, nomor mobil, lagu, statistic, ukuran sepatu dsb.

Secara harfiah, informasi adalah semua data dan fakta yang dikomunikasikan. Fakta adalah bagian dari informasi yang memiliki realita obyektif. Sedangkan data mengacu pada beberapa pengertian. Yang pertama mengatakan bahwa data adalah informasi factual yang digunakan sebagai dasar dari “reasoning”, diskusi, atau kalkulasi. Yang kedua mengacu kepada hal yang lebih ilmiah, yaitu keluaran (output) yang dihasilkan oleh indra perasa atau organ yang berisi sekaligus informasi yang berguna dan tidak berguna (berlebihan) serta memerlukan proses lebih lanjut agar memiliki arti. Sedangkan yang terakhir beranjak dari pendekatan ilmu komputer, yang berkata bahwa data merupakan informasi dalam bentuk numerik yang bisa ditransmisikan secara digital untuk diproses(Online Webster, 2008).

Sveiby, dalam "The new organizational wealth" mengatakan bahwa informasi adalah bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pengetahuan. Pengetahuan tak berwujud (tacit), harus dinyatakan kedalam bentuk pengetahuan yang bersifat eksplisit melalui berbagai pernyataan dan pemaparan informasi.(Sveivy, 1997).

Dari informasi diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa informasi tidak lepas dengan kehidupan kita. Kemanapun kita pergi kita pasti bertemu dengan segala fakta dan data yang perlu kita olah lebih lanjut untuk menghasilkan keputusan, jawaban, perhitungan, pertimbangan. Bahkan untuk bertanya sekalipun sebenarnya kita juga membutuhkan informasi.


PENGETAHUAN, KOMPETENSI, KEAHLIAN DAN KEBIJAKSANAAN

Jika kita mengerti banyak informasi dan dihubungkan satu dengan yang lainnya, maka kumpulan informasi tersebut disebut pengetahuan(knowledge). Sveiby mengatakan bahwa pengetahuan selalu memiliki 3 karakteristik, yaitu:

1. Pengetahuan selalu berorientasi pada aksi.

Contoh : pengetahuan kita tentang sepeda, akhirnya akan mendorong kita untuk menggunakan pengetahuan tersebut untuk mengendarainya.

2. Pengetahuan kita selalu didukung oleh hukum, misalnya kita mau mengendarai sepeda, kita harus mengetahui konsep hukum pergerakan sepeda dan kita didukung oleh sebuah hukum alam dimana manusia memiliki tubuh yang sesuai untuk mengendarai sepeda tersebut.

3. Hukum-hukum tersebut selalu mengontrol "process of knowing", misalnya kita sudah tahu dan mau mencoba naik sepeda, maka kita dibatasi oleh hukum yang mengharuskan naik sepeda di jalan datar.

Saat kita bisa mengendarai sepeda menurut hukum tersebut, maka saat itulah pengetahuan yang kita miliki di upgrade kepada sebuah kondisi baru yang disebut kompetensi. Ada waktunya dimana kita sudah menguasai berbagai hukum-hukum yang mengatur pengetahuan itu dan kita bisa memodifikasi hukum tersebut, maka proses kompetensi akan berubah menjadi keahlian. Contohnya adalah ketika kita sudah mampu mengubah hukum yang membatasi kita untuk hanya mengendarai sepeda di jalan datar, maka kita mencoba mengendarai sepeda bolak-balik di landasan kurva setengah lingkaran. Akhirnya seseorangpun bisa memiliki wisdom, untuk mengendarai sepeda diberbagai jenis jalan dan permukaan, setelah mengetahui berbagai hasil penerapan pengetahuan tersebut pada hukum-hukum yang berbeda.





Literasi Informasi 2 : Pendidikan dan era informasi

PENDAHULUAN

Pendidikan di berbagai belahan di dunia saat ini bersifat progresif. Progresif berarti maju dan berpindah dari pendidikan dengan pola yang lama kepada pola baru yang lebih dinamis. Tentunya perubahan tersebut tidak begitu saja terjadi, namun sangat dipengaruhi oleh perkembangan dunia yang begitu cepat. Perubahan dan perkembangan didunia yang saat ini dirasakan sangat cepat adalah perubahan kepada era tekhnologi dan informasi. Perubahan dimana tehnologi membuat “dunia ini seakan datar” telah memaksa banyak orang untuk menjadi semakin pintar dalam menggunakan berbagai “gadget” yang dapat mempersingkat serta memotong jarak untuk berkomunikasi. Berbagai alat yang mengandalkan teknologi informasi banyak sekali bermunculan. Dari teknologi alat pandang dengar(Audio Visual), sampai dengan alat komunikasi jarak jauh seperti teknologi seluler dan video seluler. Alat navigasi untuk memetakan serta menandai arah(GPS)pun saat ini sudah terkompilasi dengan berbagai “device” komunikasi. Semuanya menjadi semakin berupa “multi purpose device” dan “handy device”.
Maka tidaklah heran jika ilmu dalam bidang yang berhubungan dengan teknologi komunikasipun saat ini menjadi sangat diminati orang. Hal itu terlihat dari semakin banyaknya universitas atau akademi yang menawarkan program-program bidang peminatan komputer, multimedia atau komunikasi.

Hal kedua yang menjadi momentum perubahan dunia saat ini adalah era informasi. Saat ini kita baru saja berpindah dari sebuah era lama ke era yang lebih baru yang dinamakan dengan “Information age”. Era baru ini bermula dari dikembangkannya teknologi informasi. Dimulai dari tahun 1875 dengan ditemukannya telpon, maka orang dapat memperpendek jarak dan mengirimkan suara. Antara tahun 1910 dan 1920 stasiun radio dengan menggunakan frekwensi AM mulai disiarkan. Pada tahun 1940 televisi pertama menggabungkan suara dan gambar untuk dipresentasikan pertama kali. Tahun 1943 komputer elektronik pertama lahir. Namun hanya dengan adanya mikrokomputer yang lahir tahun 1970, maka computer dapat digunakan oleh publik secara masal. Tahun 1990-an Internet bermigrasi dari penggunaannya yang hanya untuk keperluan riset universitas kepada penggunaan kantor korporat dan rumah(Lallana, 2003).

Kedua hal itulah yang saat ini mendorong perubahan arah pendidikan. Pendidikan satu arah, dimana guru berperan sebagai narasumber dan memberikan semua informasi mengenai pelajaran tertentu sudah banyak ditinggalkan. Dengan adanya teknologi informasi, maka semakin banyak sekolah yang menerapkan metode konstruktivisme, dimana guru lebih berperan sebagai fasilitator bagi siswa untuk menemukan informasi secara mandiri, dan menggunakan berbagai informasi tersebut untuk membangun konsep serta pengertian keilmuannya.

Sebenarnya semangat tersebut sudah terlihat ketika kita mencermati UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Disitu dikatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan Nasional adalah mempersiapkan anak didik untuk menjadi warga Negara yang bertanggung jawab. Selain itu, prinsip dasar pendidikan Nasional adalah untuk mewujudkan manusia pembelajar seumur hidup (independent learner). Dari situ sebenarnya kita melihat bahwa tujuan dan prinsip pendidikan nasional kita sebenarnya sudah mengadaptasi perubahan dan perkembangan teknologi informasi tersebut. Konsep pembelajar seumur hidup sebagai contohnya, hanya dapat terwujud jika siswa sejak dini sudah dibiasakan untuk dapat belajar secara mandiri, mencari informasi secara mandiri, menggunakannya, serta mengevaluasinya. Jika siswa dapat menggunakan metode ini untuk belajar, maka pastilah mereka akan senantiasa belajar bertanggungjawab dalam segala hal, karena mereka tidak lagi belajar karena diperintahkan oleh guru, atau orang tua. Tapi mereka akan sanggup untuk belajar kapan saja, dimana saja, bahkan tanpa tutor sekalipun.

Dengan konsep yang demikian, maka tentunya visi pendidikan sampai tahun 2025 yang tercantum dalam UU Pendidikan Nasional akan dapat perlahan dicapai, yaitu menghasilkan insan cerdas dan kompetitif(insan kamil/ insan paripurna). Hal ini tentunya akan sejalan dengan kondisi dunia yang saat ini menganut faham globalisasi, dimana semua orang dapat bersaing secara masal, dan tidak dipisahkan lagi oleh sekat-sekat wilayah dan waktu.

Karena system pendidikan yang demikian, maka banyak bermunculan sekolah- sekolah yang menawarkan konsep belajar mandiri dengan mengacu pada prinsip-prinsip pendidikan di luar negeri, seperti kurikulum IB(International Baccalaureate), HSC (High School Curriculum dari New South Wales), Singaporean curriculum, atau Cambridge curriculum. Walaupun memiliki ciri yang berbeda, namun kurikulum-kurikulum tersebut sangat menonjolkan nuansa kemandirian siswa dalam belajar.

Dalam kaitannya dengan kondisi belajar yang demikianlah, maka sudah seharusnya keahlian Literasi Informasi menjadi sesuatu yang sangat utama dibutuhkan untuk diajarkan kepada siswa sejak dini, yakni sejak bangku elementary school.